TKI Dipancung? Coba Tanyakan pada Kepala SBY yang Bergoyang.


Sulitnya mencari lapangan pekerjaan serta keinginan untuk memperoleh penghasilan tinggi tanpa mengukur pada keahlian yang dimilikinya. Yang membuat para wanita Indonesia larut menggapai mimpi kerja di Timur Tengah tanpa mempertimbangkan resiko yang bakal dihadapi. Yang ada dalam bayangan pikiran mereka dan keluarga hanyalah ribuan dinar yang bakal diterima. Yang akan direncanakan sebagai modal usaha, menyelamatkan ekonomi keluarga karena sang suami menganggur akibat tak ada lapangan pekerjaan, membangun rumah, menyekolahkan anak, dan banyak mimpi-mimpi serta keinginan lainnya yang seolah hanya bisa diwujudkan oleh dinarnya Arab Saudi. Walau untuk mewujudkan mimpi tersebut harus ada yang rela menjual sawah atau rumah sekedar ongkos bisa berangkat ke luar negeri, yang akan ditebus atau membeli lagi bila sudah memperoleh gaji disana.

Tragisnya mereka ini sering menjadi korban calo pencari TKI. Calo bisa saja resmi bisa saja ilegal. Resmi, artinya lembaga-lembaga yang ditunjuk pemerintah tak ubahnya sebagai lembaga yang melakukan 'trafficking manusia' karena memungut biaya terhadap para pencari pekerjaan tersebut, kemudian menjualnya ke luar negeri melalui 'broker-broker' yang ada di negara tujuan. Bila perlu memanipulasi data para TKI agar bisa lolos berangkat. Disini sudah menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap persyaratan mendasar.

Kita sering mendengar dan membaca berita para TKI harus rela disekap dan dikarantina dalam satu kamar yang ditempati bersama-sama puluhan rekan senasibnya dibawah pengawasan ketat. Jika tidak tahan dan ingin pulang, mereka wajib mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan agent penyalur tersebut, atau pihak keluarga harus menebus. Bila tidak ada yang menebus atau biaya penebusan, ada sebagian dari mereka mencoba melarikan diri. Dan itu artinya bahwa perbudakan atau perdagangan manusia jelas-jelas terjadi di depan mata dan hidung pejabat BNP2TKI atau menteri Menakertrans.
Lalu apa bedanya tindakan dan kebijakan mereka dengan trafficking manusia? Sebaiknya BNP2TKI harus dibubarkan, tidak ada manfaatnya, setiap akibat yang timbul yang dialami oleh TKI di luar negeri selalu dijawab bukan menjadi tanggungjawabnya, dan melemparkannya kepada lembaga lain, Lalu tanggungjawab badan ini apa? Apa hanya badan pengelola keuangan yang menyangkut TKI? Atau hanya merupakan agent sentral dari sub-sub agent yang menjadi broker tenaga kerja? Dengan adanya agen sponsor yang dibiayai oleh para pencari tenaga kerja dari luar negeri sudah merupakan cermin telah terjadi 'trafficking' manusia. Pemerintah harus menyetop. Kalau memang perekrutan terhadap TKI sudah ada sponsornya, kenapa para pencari kerja masih dipungut atau dibebani biaya yang jumlahnya tidak sedikit? Kenapa para pencari kerja tidak langsung berhubungan dengan Kementrian Tenaga Kerja? Dan seharusnya setiap permintaan akan kebutuhan tenaga kerja regulasi dan pengelolaannya adalah domainnya Kementrian Tenaga Kerja, tidak bisa diserahkan kepada pihak-pihak yang cenderung rentan eksploitasi. Sepertinya ada yang salah di Kementrian ini.

Baik Jumhur Hidayat kepala BNP2TKI maupun Abdul Wahid Makthub staff khusus Menakertrans bersikeras dengan argumennya telah melakukan penampingan sejak awal. Berbeda dengan keterangan baik dari Menlu Natalegawa maupun Duta besarnya bahwa pendampingan itu tidak terjadi karena peradilan di Arab Saudi demikian tertutupnya. Setidaknya tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan apakah Ruyati didampingi atau tidak kecuali Ruyati sendiri yang menjelaskan hal yang sebenarnya. Sedangkan pernyataan atau pembelaan yang dilakukan oleh kedua pejabat tersebut cenderung mencari pembenaran, dan berusaha berkelit, alasan yang mereka sampaikan normatif bahwa mereka telah melakukan upaya maksimal. Apalagi Abdul Wahid Makthub saat di tanyakan oleh TB Hasanuddin dari anggota DPR kenapa tidak ada informasi ke publik, alasannya hal tersebut adalah 'confidential'. Menilik penjelasan kedua pejabat tersebut nyata sekali bahwa mereka berusaha menutupi dengan kebohongan. Berusaha untuk melepaskan diri dari tanggungjawab.
Tidak ada yang bisa menjelaskan apakah pernyataan mereka benar atau tidak karena saksi kunci untuk menjelaskan bahwa Ruyati didampingi atau tidak, kecuali Ruyati itu sendiri. Jadi bisa dikatakan bahwa pemerintah tidak lebih berusaha berkelit dan menyalahkan pemerintah Arab Saudi. Pejabat-pejabat ini sebaiknya dicopot kalau tidak mau mengundurkan diri.

Lemahnya diplomasi seakan Indonesia tidak memiliki posisi tawar karena pemerintah tidak mengirimkan nota protes langsung ke pemerintah Arab Saudi pada saat bersamaan berita perihal Ruyati mencuat. Perbedaan pandangan dari Pemerintah Arab Saudi dengan pemerintah Republik Indonesia terhadap status TKI seharusnya menjadi acuan dasar di dalam pelolosan perijinan para pencari kerja ke Arab Saudi. Pemerintah Arab Saudi memandang bahwa TKI bukan tenaga kerja, mereka itu bagian dari rumah tangga, yang bisa diejawantahkan mereka ini tak bedanya dengan budak, tahu sendiri makna budak, yang bisa diperlakukan semena-mena terhadapnya. Sedangkan pemerintah Indonesia menganggap mereka ini adalah tenaga kerja yang profesinya tak berbeda dengan profesi sopir, dokter, perawat, tukang las, kuli bangunan dsb.

Bila perbedaan persepsi tersebut tidak bisa disikapi melalui kesepakatan atau MOU. Seharusnya pemerintah melakukan moratorium, menghentikan upaya pengiriman tenaga kerja, sampai pembenahan regulasi serta peraturan TKI yang masih carut-marut tercipta mekanisme sistem yang transparant dan efektif. Karena tidak ada jaminan bahwa para pencari tenaga kerja tersebut akan terjamin atas hak-hak, apalagi keselamatannya. Dan menteri luar negeri tidak bisa hanya berkelit seakan menganggap peristiwa yang menimpa Ruyati adalah wajar, karena perlakuan pemerintah Arab Saudi juga dirasakan oleh negara lain seperti Nigeria, India, termasuk pengecaman oleh lembaga amnesti internasional. Alasan yang disampaikan tak lebih usaha mencari pembenaran dengan menyalahkan domainnya pemerintah Arab Saudi. Seharusnya bila menteri luar negeri tahu kondisi seperti itu, seharusnya mengambil langkah-langkah tegas dengan maksud mencegah timbulnya permasalah seperti yang menimpa banyak TKI di Arab Saudi saat ini.

Menteri Luar Negeri harus bertanggungjawab dengan mengundurkan diri atau presiden harus mencopotnya, karena tidak pernah melakukan upaya perbaikan diplomasi dengan pemerintah Arab Saudi padahal sudah tahu bahwa diplomasi pemerintah Arab Saudi lemah, apalagi ada direktorat dalam jajarannya yang membidangi ketenagakerjaan di luar negeri. Sesungguhnya bukan lemahnya diplomasi pemerintah Arab Saudi yang jadi pangkal masalah, tetapi sebaliknya pemerintah Arab Saudi telah menunjukkan sikap arogansinya dengan mengabaikan negara lain yang tidak menunjukkan sikap 'memohon'. Seharusnya menteri luar negeri tahu bahwa negara feodal atau kerajaan seperti Arab Saudi rajalah yang berkuasa, raja memiliki  privillege sesuai dengan otoritasnya, terlepas dari domain hukum yang negara lain tak bisa mencampuri, negara lain harus memposisikan diri tak bedanya dengan analogi 'kawulo alit' yang harus menyembah dan bertekuk lutut kepada raja, apalagi posisi sebagai TKI, demikian pula bangsa Arab yang memperkejakan para TKI merasa menjadi majikan dan 'raja', yang dalam pemerintahan feodal atau kerajaan memperlakukan para TKI tak beda dengan budak belian. Gus Dur telah melakukan hal tersebut dengan mendatangi pemerintah Arab Saudi untuk membebaskan seorang TKI yang siap dipancung, dan upaya Gus Dur menunjukkan hasil. Bercermin dari itu semua. Diplomasi tanpa harus merasa kehilangan martabat adalah ukuran kepintaran seorang diplomat, seperti juga yang dilakukan oleh Menlu Adam Malik di era rejim Soeharto. Setidaknya SBY juga harus bercermin keberhasilan Gus Dur bila tidak mau berhenti saja sebagai kepala negara yang hanya pintar berorasi tapi sisi aplikasinya pepesan kosong. Kalau orang batak bilang, jauh panggang dari api. Alias mentah!

Indonesia sudah berkali-kali dan sering memperoleh perlakuan hukum yang tak adil terhadap para TKI yang terkena masalah. Penyelesaian selama ini menunjukkan bahwa pemerintah telah bersalah membiarkan hal tersebut terus saja berulang dan berlarut-larut tanpa ada solusi yang tepat didalam menyelesaikan akar permasalahan penempatan tenaga kerja di Arab Saudi. Jumlah TKI bermasalah menunggu giliran dihukum pancung, cermin kegagalan kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengatasi persoalan tenaga kerja. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi seharusnya dicopot atau mengundurkan diri karena dianggap tidak cakap, yang hanya berbicara melalui staf khususnya Abdul Wahid Makthub yang penuh retorika, untuk menutupi ketidakmampuannya mengatasi persoalan ketenagakerjaan khususnya TKI di luar negeri.

Penggalangan dana untuk melakukan penebusan terhadap Darsem yang akan dieksekusi dalam waktu dekat, seharusnya tidak menjadi beban masyarakat. Masyarakat boleh peduli. Tetapi apa yang terjadi pada Darsem sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Ada dana yang masuk dari para TKI ini ke pemerintah melalui pajak yang konon mencapai mencapai angkai lebih dari 90 milyar dan dana asuransi sebesar Rp.400.000,- yang dikenakan pada setiap TKI yang berangkat ke luar negeri. Sehingga sudah seharusnya pemerintah yang melakukan penebusan untuk memenuhi permintaan keluarga korban, karena cukup uang dan cukup dasar untuk melakukannya. Terbukti setelah rapat dengar pendapat dengan DPR juga karena mendapat tekanan dari berbagai pihak khususnya media, akhirnya menyatakan akan mengucurkan dana sebesar 4,7 milyar untuk memenuhi tebusan Darsem. Paling tidak pemerintah harus mengupayakan diplomasi lebih inten dengan otoritas pemerintah Saudi agar bisa dapat pengampunan agar Darsem lolos dari upaya eksekusi. SBY harus sigap, berupaya untuk melakukan pembicaraan bilateral menemui otoritas tertinggi pemerintahan Arab Saudi untuk mengusahakan pengampunan terhadap Darsem serta para TKI lain yang menghadapi persoalan yang sama, serta melakukan terobosan-terobosan diplomasi yang lebih nyata dan tidak diambangkan seperti kondisi sekarang.

Pemerintah dan kepala negara khususnya harus bertanggungjawab terhadap keselamatan setiap warga negara di manapun berada. Menurut amanah undang-undang. Kepala negara telah lalai. Kepala negara terlalu sibuk membangun reputasi di luar negeri di tengah keburukan kondisi di dalam negeri. Pidato SBY di depan sidang ke-100 ILO mencerminkan bahwa apa yang disampaikannya adalah bentuk pembohongan besar pada masyarakat Internasional.
Masyarakat internasional tidak tahu persoalan tenaga kerja di dalam negeri Indonesia yang kondisinya masih carut marut, demo buruh, demo kepala desa, demo petani, demo guru, demo pegawai negeri honorer, dan banyak demo-demo lain yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan, serta jumlah angka pengangguran yang diklaim berkisar 40 juta berdasarkan BPS, jauh dari badan dunia yang menyebutkan angka pengangguran di Indonesia mencapai 100 juta orang.

Lalu BNP2TKI fungsinya untuk apa? Tidak cukup hanya dengan berkelit, bahwa tugas BNP2TKI hanya melakukan pemantauan saja dan berdalih persoalan Ruyati di Arab Saudi domainnya menteri luar negeri, BNP2TKI lebih menekankan regulasi dan pemantauan di dalam negeri. Lalu apa pula fungsi dari Menakertrans yang tidak cukup hanya menggalakan pelatihan, keterampilan. Tetapi tidak memberikan penekanan betapa penting penguasaan berbahasa, serta pemahaman terhadap kultur serta hukum yang berlaku di negara tujuan para TKI akan ditempatlan. Bila hal-hal tersebut tidak dikuasai oleh para pekerja sebagai pembekalan, seharusnya kedua lembaga tersebut tidak meloloskan untuk bisa bekerja ke luar negeri. Apalagi sampai timbul adanya manipulasi data. Kroscek dan recek adalah hal wajib yang harus dilakukan oleh para penyelenggara penempat tenaga kerja. Mereka harus meminimalisir resiko karena setelah lolos artinya merekalah yang bertanggungjawab. Mereka harus menemukan jangan sampai ada kesalahan maupun keteledoran meski itu dilakukan oleh para pencari kerja atau pihak lain yang berusaha mencari untung. Fungsi pengawasan yang melekat yang ada pada setiap badan penyelenggara tidak serta merta lepas tanggungjawab bila sampai ada yang lolos dalam hal manipulasi data.

Pemerintah terlalu banyak menciptakan lembaga-lembaga yang tak ubahnya menjadi tempat sarang koruptor. Kasus Ruyati sebagai cermin kecerobohan dan ketidakbecusan pejabat-pejabat yang terkait. Mulai dari presiden, menteri Menakertrans, BNP2TKI, konsulat, duta besar, menteri luar negeri dalam membidangi tanggungjawabnya.

Demikian pula apa fungsi dari Menteri Negara PPPA, kenapa menteri yang mengurusi perempuan selama ini diam saja? Padahal dalam undang-undang tentang ketenagakerjaan ke luar negeri menyimpan seribu masalah. Undang-undang seharusnya sebagai jaminan perlindungan kepada perempuan khususnya pekerja wanita, tetapi aturan yang ada lebih menekankan pada persoalan penempatan pekerja, dan hanya satu poin saja yang melarang bahwa wanita hamil tidak diperkenankan bekerja diluar negeri. Akibatnya memberi peluang pekerja wanita yang tidak hamil menghadapi resiko menjadi hamil saat bekerja di luar negeri. Ini sudah menunjukkan ketidakcerdasan atau kepekaannya terhadap masalah yang bakalan menimpa para pekerja wanita. Jadi semua menteri dalam kabinet SBY tak ubahnya hanya sebagai pelengkap agar kabinet SBY nampak hebat kalau tak mau dibilang sebagai politik balas jasa baik pada perorang atau partai.

Pengiriman TKI ke luar negeri ke Arab Saudi telah mengabaikan resiko yang bakal dihadapi para TKI tersebut. Dalam hal ini pemerintah tak bedanya telah melakukan eksploitasi dan pembiaran. Eksploitasi dengan maksud menjadikan mereka sebagai pahlawan devisa agar bisa menangguk trilyunan rupiah bagi negara tanpa bersusah payah. Lalu melakukan pembiaran bila mereka menghadapi kasus dan persoalan di tempatnya mereka bekerja.
Tentu masih hangat dalam ingatan kita belum lama berselang, bagaimana pemerintah harus melakukan penjemputan ribuan para WNI yang terlantar di kolong-kolong jembatan di negeri Arab tersebut karena persoalan visa dan pasport, serta berbagai persoalan yang menyangkut ketenagakerjaan. Lalu follow up dari peristiwa seperti itu apa? Dan apa hasilnya? Kasus Ruyati inikah hasilnya? Memprihatinkan. Tidakah para jemaah yang menunaikan ibadah haji ke Arab Saudi yang jumlahnya sampai ribuan setiap tahun juga memberikan devisa penerimaan bagi pemerintahan Arab Saudi, tidakkah itu sudah balans? Perlakuan kepada para TKI oleh pemerintahan Arab Saudi dan bangsa Arab yang mempekerjakan para TKI sungguh keterlaluan, sangatlah tidak adil, diluar keadaban.

Terlalu cepatnya pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan tanpa mempertimbangkan aturan-aturan yang seharusnya dijalankan apalagi dalam skala hukum internasional, adalah menjadi domain pemerintah Arab Saudi, sekalipun tidak memberitahukan berita acara hasil persidangan dan pelaksanaan eksekusi. Tetapi justru menguak akan adanya persoalan hubungan diplomasi antara pemerintah Arab Saudi dengan pemerintah RI. Terbukti dengan tidak adanya pemberitahuan kepada konsulat atau duta besar Indonesia yang berada di Ryad mengenai proses eksekusi Ruyati. Artinya proses persidangan yang dilakukan terhadap Ruyati tidak didampingi pengacara maupun dihadiri perwakilan pemerintah RI. Dan itu sudah menunjukkan, para pejabat duta besar di sana tidak proaktif didalam melakukan tugas pengawasan terhadap para tenaga kerja Indonesisa yang ada di sana. Mereka harus bertanggung jawab. Mereka harus dicopot bila tidak mau mengundurkan diri.

Pelaksanaan hukuman terhadap Ruyati seharusnya bisa dicegah untuk tidak diproses secepatnya bila ada kepedulian pemerintah yang sudah terwakili adanya duta besarnya. Sebab pelaksanaan hukuman mati seharusnya juga melalui proses tanggapan dari lembaga pemaafan yang ada di Arab Saudi, sebagaimana yang dilakukan terhadap Darsem.

Proses persidangan yang tidak transparant serta tertutup yang terjadi di Arab Saudi, tak memberi kesempatan bagi Ruyati untuk melakukan pembelaan. Bukan berarti bahwa apa yang dilakukan Ruyati dengan membunuh majikan perempuannya bisa dibenarkan. Tetapi harus diungkap apa yang melatarbelakangi sehingga peristiwa itu sampai terjadi. Kenapa Ruyati sampai melakukan perbuatan itu? Barangkali sebagai akibat dari akumulasi rasa geramnya serta kondisi psikis yang tertekan diperlakukan terus-menerus secara tidak manusiawi. Fungsi pengacara atau pendampingan yang mewakili pemerintah dari terpidana adalah untuk menunjukkan agar kesalahan itu tidak bisa ditimpakan kepada Ruyati begitu saja.
Banyak hal yang harus diungkap yang menimbulkan tanda tanya. Apakah yang dilakukan majikan perempuan Ruyati tidak diketahui oleh suaminya? Apakah majikan laki-laki Ruyati melakukan pembiaran, ataukah turut terlibat melakukan penyiksaan terhadap Ruyati?

Banyak pertanyaan spekulasi yang muncul sebagai akibat tak sepatahpun kalimat yang bisa diperoleh dari pengakuan Ruyati itu sendiri, baik melalui kesaksian teman kerjanya yang bermukim di Lampung atau yang terungkap selama proses persidangannya. Ataukah akibat komunikasi buruk, tidak sambung karena keterbatasan penguasaan bahasa Ruyati, sehingga menimbulkan mis terus menerus yang menciptakan kejengkelan pada diri majikan perempuannya? Bila ada regulasi dan pemantauan dari staff KBRI atau konjen seharusnya setiap keluhan atau terjadinya suatu peristiwa atas TKI bisa segera diatasi, setidaknya bisa dilakukan penarikan TKI bermasalah untuk dipulangkan menghindari permasalahan yang lebih fatal, tanpa harus membedakan apakah TKI tersebut legal atau ilegal, yang penting mereka adalah WNI yang pemerintah wajib melindunginya.

Persoalan TKI di negeri Timur Tengah dan Malaysia yang menerapkan undang-undang berdasarkan agama ternyata memiriskan bila dibandingkan dengan persoalan TKI di negera seperti. Jepang, Taiwan, Singapura, Hongkong atau negara maju lainnya.
Lalu kenapa di negeri Arab persoalan hukum yang menjerat para TKI itu demikian banyak? Apakah karena para TKI yang bekerja di sana itu adalah mereka yang bermental atau bermaksud jahat? Tentu saja tidak. Pasti ada persoalan mendasar yang tidak berusaha dicari tahu oleh pihak yang berkompenten, seakan melakukan pembiaran sehingga membuat kasus-kasus pidana banyak terjadi dan terus berulang yang menjerat para TKI? Padahal tidak sedikit dari mereka menghadapi siksaan yang mengakibatkan cacat tubuh bahkan kematian seperti Cacih yang dibunuh majikannya dan Cucu Mariana yang belum tahu rimbanya serta sederetan kasus lain, tetapi tak satu pun regulator pemerintah RI menunjukkan tanggungjawabnya. Ataukah para pekerja TKI wanita, untuk bisa selamat hingga habis masa kontraknya harus pulang membawa anak hasil 'kerjaan' majikannya, atau dipulangkan lantaran hamil? Ataukah bangsa di Timur Tengah itu sendiri yang sesungguhnya 'sakit' dan jahat? Coba tanyakan kepada kepala SBY yang bergoyang.