Pemerintah yang Mengajarkan Ketidakjujuran.

Seharusnya masih hangat dalam ingatan kita, di tahun 2009 lalu Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Ujian Nasional telah melanggar Hak Azazi Anak, dalam hal ini pelajar. Dan negara dalam hal ini Kementerian Pendidikan telah melakukan pelanggaran dan pembangkangan amanah undang-undang terhadap keputusan MK karena tetap memberlakukan Ujian Nasional. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ketidak jujuran yang terjadi dilapisan dunia pendidikan sebenarnya disebabkan oleh pemerintah, sebagai dampak dari urgensi mengejar nilai serta angka kelulusan. Apalagi sampai ada sekolah yang harus dimerjer dengan sekolah lain sebagai akibat tak satu pun dari siswa didiknya lulus dalam ujian nasional.
Dunia pendidikan sudah seharusnya tidak lagi menekankan pada UN sebagai ukuran suatu keberhasilan dalam dunia pendidikan. Tetapi lebih ditekanan pada nilai budipekerti, akhlak serta pengelolaan pendidikan berlandaskan moralitas yang benar. UN harus dievaluasi total. Bila perlu ditiadakan bila tidak efektif.
Kalau guru berkompromi untuk mengejar kelulusan, maka kejujuran itu sendiri telah dikorbankan. Kalau kelulusan menjadi indikator keberhasilan, maka kecenderungan untuk berkompromi akan terus terjadi.
Anak-anak tidak boleh dicemari oleh moral orang dewasa dan pengajar yang memiliki mentalitas buruk. Anak-anak harus diselamatkan. Banyak guru yang sesungguhnya gagal dalam bidang pengajaran, tetapi untuk menutupi kegagalannya adalah dengan memanipulasi dengan hal yang tidak benar. Seperti melakukan stimulasi menyiasati ujian nasional agar siswa didiknya bisa lulus semua, yang terjadi di SD Gadel Surabaya.

Kasus Alif anak Bu Siami adalah bentuk dari jalan yang ditempuh seorang guru untuk menutupi kegagalannya dalam mendidik. Belum lagi kepentingan intitusi tempatnya mengajar seakan melegalkan upaya-upaya tidak benar agar jumlah kelulusan sebisanya mencapai angka 100%.
Untuk berbicara mengenai kejujuran sebaiknya dimulai dari niatan yang jujur. Karena nilai kejujuran itu sendiri sebenarnya telah luntur pada sebagian besar keluarga di Indonesia. Sebagai contoh kecil. Seorang anak sudah diajarkan oleh orangtuanya untuk berbohong dengan mengatakan: mama atau papa sedang pergi atau bubuk atau tidak ada di rumah, hanya harena enggan menjawab. Hal seperti ini mencerminkan bahwa betapa pengecutnya orang dewasa yang tidak berani menghadapi sendiri, dan bersembunyi di balik kepolosan anak, yang secara langsung telah menanamkan benih ketidak jujuran.
Kasus Ibu Siami kini seakan menjadi sinetron dan dijadikan komoditi para politikus, pejabat, publik figur yang seakan menjelaskan akan makna kejujuran, namun sesungguhnya mengingatkan bahwa mereka itu sesungguhnya mempertontonkan perilaku serta mengajarkan ketidakjujuran itu sendiri.
Apa yang disampaikan oleh M. Nuh Menteri Pendidikan dengan apa yang disampaikan oleh Ibu Siami, sudah menunjukkan bahwa menteri pendidikan berusaha menutupi bahwa tidak ada adanya contek masal berdasarkan hasil kajian dari diknas Jawa Timur, yakni tidak adanya pola atau format jawaban yang sama. Padahal menurut keterangan Ibu Siami, bahwa penyebaran jawaban yang diberikan oleh Alif kepada rekan-rekannya sudah menegaskan, bahwa anaknya Alif tidak memberikan jawaban sesuai jawabannya sendiri karena merasa dirugikan oleh perintah gurunya, sehingga jelas saja tak akan ditemukan format yang sama. Dari sini saja para pelaku pendidikan ini masih saja mempertontonkan ketidakjujuran. Meski bertujuan untuk melerai kisruh yang terjadi antara Ibu Siami dengan warga Gadel atau untuk meredakan kecemasan para orangtua murid bila sampai terjadi ujian ulang.
Belum lagi keterangan Ibu Siami maupun wali murid seakan menyiratkan pesan yang tidak langsung agar tidak menghukum guru yang sudah terbukti memberi contoh yang buruk, dengan alasan guru tersebut telah mengajar lama di SD Gadel. Bisa saja hal itu adalah keinginan guru tersebut agar mendapat pengampunan untuk bisa mengajar kembali. Lebih baik mengorbankan satu dua guru yang berperilaku buruk dari pada menjadikan murid memiliki perilaku buruk apa pun alasannya. Mengajarkan perilaku buruk sudah bertentangan dengan kaidah pendidikan yang benar. Tidak bisa ditolerir. Harus diganjar agar bisa memberi efek jera bagi yang lainnya. Dan itu juga untuk menunjukkan pada para murid bahwa yang salah tetaplah salah dan harus menerima ganjarannya. Tidak patut ditiru dan tidak harus dituruti meski pun itu oleh guru sekali pun. Makna guru, yakni untuk di-gugu dan di-tiru, sudah tidak relevan lagi. Peran komunikasi orangtua dan anak adalah sangat penting untuk mencegah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh guru, sehingga orangtua bisa selalu memantau.
Kembali kepada mekanisme dan sistem pendidikan, tidak bisa didasarkan atas hasil ujian nasional sebagai pemetaan ukuran suatu keberhasilan pendidikan. Setiap wilayah sudah tentu memiliki keterbatasan dan kelebihannya. Sehingga tidak bisa diseragamkan. Ujian semestinya mengacu kepada karakeristik dari setiap wilayah yang memiliki domain sendiri.
Sebagai contoh. Sekolah dan pengajar di kota memiliki fasilitas memadai, baik lingkungan maupun prasarana dibandingkan wilayah lain terutama di pedesaan. Setidaknya di masing-masing sekolah memiliki keterbatasan dan kelebihan, sehingga tidak bisa disamaratakan untuk mengukur hasil pencapaian dari pengajaran.
Berbeda dengan di kota. Yang cukup tersedia berbagai fasilitas seperti perpustakaan, laboratorium, serta mudahnya mengakses informasi dari media internet. Sementara guru yang telah ditunjang berbagai fasilitas dan gaji yang cukup, masih mengajar pada sekolah lain, atau memberi les, untuk mengejar penghasilan berlebih.
Sementara di wilayah lain di berbagai pelosok negeri ini. Banyak guru masih harus mengajar di berbagai sekolah lain dengan segala fasilitas yang minim, tetapi bukan untuk mengejar honorarium atau pendapatan ekstra, melainkan sebagai upaya menutupi akan kekurangan guru di sekolah-sekolah dan wilayah tersebut.
Kita sering disuguhkan di berbagai media, bagaimana banyak diantara anak murid di pelosok untuk mencapai sekolah harus berjalan kaki berkilo-kilometer, mengarungi tebing,  hutan, serta sungai, atau harus mengayuh sampan untuk mencapai sekolahnya, lalu bangun di kegelapan hari agar tidak terlambat tiba di sekolah.
Belum lagi fasilitas buku pelajaran, bacaan serta alat tulis, apalagi komputer. Tetapi para siswa ini mau menjalani dengan senang hati di tengah keprihatinan dan kegigihan menimba ilmu. Dan anak-anak ini niscaya memiliki perilaku yang baik, patuh pada orangtua, dengan sarana sekolah minim, tidak membantah apalagi malas bersekolah sekalipun harus menempuh perjalanan cukup jauh untuk mencapai sekolahnya, tak adanya sarana transportasi pribadi atau umum tak menjadi halangan untuk menggapai masa depan yang lebih baik.
Jauh berbeda dengan kondisi rekan sebayanya yang berada di perkotaan. Bersekolah tidak harus berjalan kaki. Banyak diantaranya bahkan diantar jemput kendaraan pribadi, atau jemputan  berlangganan, atau memiliki kendaran sendiri seperti sepeda motor, lalu fasilitas perpustakaan dengan koleksi buku lebih dari lengkap, belum lagi berbagai kegiatan ekstrakulikuler, laboratorium, ruang komputer, sarana multimedia warnet bisa ditemui dimana-mana, karena sebagian besar guru banyak memberi tugas melalui media tersebut. Sesungguhnya pelajar-pelajar diperkotaan malah termanjakan. Tapi apa yang terjadi? Banyak diantara murid-murid kegiatannya bahkan kontraproduktif. Terlibat tawuran masal, saling memusuhi sekolah satu sama lain, membolos, lebih suka pergi ke mal-mal, main game di warnet, dsb. Tetapi saat menghadapi UN lalu menyikapinya berlebihan, seakan UN itu momok yang sedemikian menakutkan, sampai harus melakukan istiqosah, melakukan doa bersama, bertangis-tangisan, dan bukannya menyikapinya dengan belajar dan tekun.
Menimbang berbagai perbedaan dan kesenjangan yang ada pada tiap-tiap wilayah maupun kondisi yang ada di setiap sekolah. Hasil ujian nasional tidak bisa dijadikan sebagai ukuran kesetaraan atas kelulusan secara nasional.
Seharusnya ujian nasional bukan merupakah akhir atau puncak nilai pencapaian. Ujian nasional hanya sekedar evaluasi. Penentuan kelulusan seharusnya merangkum semua nilai yang ada pada otonomi sekolah. Penentuan kelulusan siswa adalah domain sekolah masing-masing dengan memasukkan nilai kedisiplinan dan budipekerti, sehingga keterbatasan kecerdasan seorang anak tidak menepis dan mengikis kelebihan akan nilai-nilai budipekerti, moralitas dan mentalitas yang dimilikinya. Dan inilah makna sesungguhnya dari pendidikan. Ada kearifan yang bisa dipertimbangkan sekolah dan pengajar terhadap suatu kelulusan dengan menyandingkan nilai kecerdasan dan keluhuran nilai budipekerti.