Ujian pun usai. Berapa pun danem atau nilai yang didapat tak penting. Yang penting lulus. Sebab, kelulusan ibarat terlepas dari berkati-kati beban, walau sesungguhnya beban itu tak benar-benar lepas. Bagi lulusan sekolah menengah pertama masih harus berjuang untuk mendapatkan sekolah baru. Bagi mereka dari kalangan berada, sudah barangtentu orangtuanya akan memperjuangkan untuk mendapatkan sekolah favourit, dengan segala upaya bila perlu menyuap atau 'menitipkan' ke panitia penerimaan murid. Bagi mereka yang hidup dari kalangan pendapatan pas-pasan, syukur-syukur punya nilai tinggi, sehingga bisa berkompentisi memperebutkan ketersediaan bangku yang jumlahnya terbatas. Bila tidak, masih bisa bersyukur dan berlega hati diterima di sekolah - walau tidak favorit - atau sekolah lain yang kental dengan aroma pungutan, meski subsidi pendidikan sudah dianggarkan, menepis slogan pendidikan gratis dari tingkatan sekolah dasar hingga sekolah menengah. Kewajiban orangtua memang memperjuangkan agar anaknya bisa melanjutkan sekolah. Mereka adalah generasi penerus keluarga dan bangsa.
Bagi kalangan siswa. Kelulusan identik dengan eporia. Sebuah momen peristiwa yang harus dirayakan. Peristiwa yang telah ditunggu selama tiga tahun. Masa kelulusan adalah saatnya mengorbankan baju seragam yang sebelumnya begitu dijaga jangan robek sedikit pun, apalagi ternoda, bila tidak ingin kena resiko sanksi disiplin dari pihak sekolah.
Begitu berita kelulusan diterima. Tibalah saatnya untuk merayakan dengan segala sesuatu yang sudah dipersiapkan sebelumnya, seperti; spidol, cat semprot kain dan pewarna rambut, dan wajah.
Hal pertama dilakukan adalah saling berlomba menoreh dan membubuhkan nama, kata pesan, serta tandatangan. Yang diharap semua itu akan menjadi catatan kenangan masing-masing. Seragam yang semula putih menjadi berpola, pola yang dibentuk dari catatan-catatan dan tandatangan. Tetapi apakah baju-baju tersebut nantinya akan mereka simpan? Ah, itu perkara nanti. Barangkali nasibnya juga tidak lebih dari rambut mereka yang dicat warna-warni, yang usai eporia kelulusan, akan lenyap dikeramas atau dipangkas, demikian pula baju seragam pun barangkali akan tercampak menjadi kain pel.
Perayaan seperti itu berlaku bagi mereka yang lulus. Bagi yang tidak beruntung. Isak tangis pun pecah berderai. Meratapi ketidaklulusan. Dunia seakan kiamat. Terbayangi masa depan gelap yang menghadang. Bila tak kuasa menerima keadaan, masih mending hanya jatuh pingsan, terkadang ada yang sampai melakukan tindakan nekat, seperti bunuh diri. Meski tersedia kesempatan susulan mengejar ujian kejar paket kelulusan.
Hingar bingar kelulusan tidak cukup berhenti hanya pada penulisan 'prasasti' di baju seragam masing-masing. Perayaan pada kenyataannya tidak cukup hanya berlangsung di sekolah. Bagi yang punya kendaraan, tibalah saat merayakannya di jalan raya.Yang tak punya motor, ikut berboncengan, bila perlu bertiga agar terkesan keren.
Pesta kelulusan di jalan raya pun menciptakan kemeriahan, meluapkan sukacita, dengan berkonvoi berkeliling ke segenap penjuru kota. Suara gas yang ditancap meraung memekakkan telinga. Bila dirasa kurang kencang, knalpot motor pun dilepas agar raungannya maksimal, knalpot pun ditacung-acungkan ke udara, seraya berteriak dan memaki-maki setiap pengendara umum yang melintas.
Kebisingan mereka yang memekakkan. Seakan melampiaskan segala bentuk tekanan selama mereka menjalani pendidikan, dari jadwal kurikulum yang padat, banyaknya beban tugas oleh setiap guru yang lupa bahwa remaja-remaja itu masih perlu berbagi waktu lainnya, dan bukan melulu melalukan beban dan kewajiban sekolah, selama bersekolah terasa seakan terjajah dan terkebiri haknya sebagai remaja.
Akibatnya, eporia kelulusan menciptakan sumpah serapah yang dilontarkan masyarakat yang merasa terganggu oleh polah tingkah mereka. Dari makian; Dasar pelajar tak bermoral. Dasar tuli, congek! Dasar orangtuanya tak memberi pendidikan budipekerti yang baik!
Tak salah bila sebagian masyarakat menyumpahi agar mereka yang berkonvoi liar, celaka, mampus. Polisi pun seakan kewalahan mengatasi ulah mereka, meski sudah dilakukan rasia penilangan terhadap sepeda motor mereka. Lebih seru lagi, bila konvoi mereka saling berpapasan konvoi sekolah lain. Yang kemungkinan akan menciptakan pertempuran yang bisaberakhir di rumah sakit atau ke liang kubur.
Satu tahapan sekolah pun berakhir dan masuk ke tahapan berikut. Selamat bagi yang lulus sekolah. Selamat menjalani masa sulit yang sudah menghadang di depan. Selamat berjuang untuk berebut bangku sekolah yang baru. Selamat berjuang mendapatkan pekerjaan bagi yang tidak bisa melanjutkan sekolah. Selamat menjadi pengangguran bagi yang tidak beruntung. Dan selamat bergabung dengan kelompok angkatan pengangguran sebelumnya yang masih terkatung-katung penuh ketidakpastian akan masa depan.
Indonesia sudah merdeka. Tetapi para pelajar ini tak satupun ada yang memekikkan kata 'merdeka' begitu melakukan konvoi merayakan kelulusannya.