Wedus Gembel Itu Kini Bernama Simon

Wedus gembel. Wedus gimbal. Istilah itu tak ada bedanya. Wedus ya wedus, binatang yang dimaksudkan sebagai kambing jenis biri-biri. Ciri dari kambing biri-biri terletak pada bulunya yang tebal, keriting, berwarna putih. Kelebihan jenis wedus ini dengan bulunya yang bisa dicukur lalu dirajut menjadi benang yang disebut sebagai benang wol.
Sedang gembel atau gimbal adalah sebutan untuk rambut yang kusut, tebal dan kumal karena tak pernah dibersihkan apalagi disisir dengan sikat. Keadaan seperti itu biasa terlihat pada bulu kambing biri-biri. Itu sebabnya kenapa awan pekat yang menyembur dari kawah gunung Merapi disebut sebagai wedus gembel. Karena wujudnya menggumpal, putih keabu-abuan, dan melinting pekat seperti bulu kambing biri-biri yang tak pernah dimandikan.
Tetapi bukan perihal 'wedus gembel' Merapi yang hendak kami ceritakan. Melainkan ceritanya benar-benar mengenai seekor wedus yang benar-benar gembel alias gimbal bulu tubuhnya.

Setiap sore atau sepulang sekolah sudah terbiasa kulihat teman main yang juga tetangga rumah sedang menggembalakan kambing yang hanya satu-satunya. Entahlah kenapa bapaknya hanya memiliki seekor kambing. Dan tak berniat menambahkan menjadi dua atau tiga ekor. Agar kambingnya memiliki saudara dan saudari angkat.
Tetapi siapa tahu walau hanya seekor, bila dikawinkan dengan kambing lain tentu bisa beranak pinak, berkembang biak menjadi lima atau sepuluh ekor di kemudian hari. Tetapi harapan itu tidak mungkin, karena kambing miliknya berkelamin jantan.
Memang ada alasan kenapa bapaknya tak mau menambah jumlah kambingnya menjadi sepasang, atau setidaknya menambahkan seekor lagi yang berkelamin betina. Sebab semua saudara tirinya berkelamin perempuan. Jadi bapaknya seperti tak ingin lagi dengan segala sesuatu yang berkelamin betina. Dengan memilih kambing jantan berharap akan memperoleh berkah seorang anak lelaki dari ibu tirinya.
Atau dengan memilih kambing jantan. Bapaknya mungkin mempunyai tujuan lain, supaya dirinya memiliki teman kesibukan yang berkelamin lelaki walau itu hanyalah seekor kambing biri-biri.
Lingkungan tempat tinggal semasa kecilku dulu dikelilingi oro-oro, hamparan tanah terbuka yang dipenuhi rerumputan. Kontur tanahnya tidak rata. Ada bagian tanah yang berketinggian yang memiliki lereng. Dan dari tempat ketinggian biasanya kami duduk-duduk memperhatikan si kambing temanku merumput sendiri di tepi kolam.
Apalagi saat seeorang teman sekolahku yang berasal dari etnis Flores datang bermain ke tempatku. Kedatangannya selalu menggoda kambing itu dengan selalu mendorong-dorong pantatnya. Kekuatan mendorong dan pertahanan dari kambing acap menjadi taruhan kami. Apakah teman Flores ku itu mampu mendorong si kambing hingga merangsak masuk ke dalam kolam ikan, atau dia yang akan kehabisan daya karena pertahanan berdirinya si kambing demikian kokoh?
Sementara dari atas ketinggian kami berteriak-teriak menyemangati dengan memanggil namanya agar berhasil mendorong si kambing masuk ke dalam air kolam.
Si Flores berhasrat sekali untuk bisa mendorong si kambing hingga terjebur ke dalam kolam ikan. Ingin membuktikan bahwa dirinya mampu membuat kambing itu bisa masuk kolam. Sehingga kawanku pemilik kambing, nantinya bisa membersihkan bulu-bulunya yang gimbal bergumpal bercampur kotoran. Maklum semenjak dibeli, kambing itu sulit dan tak pernah dimandikan.
"Dorong Simon! Dorong kuat!"
Selama ini, teman Floresku itu tak pernah sekali pun berhasil mendorong kambing hingga masuk ke dalam kolam. Paling jauh semeter jaraknya dari bibiri kolam. Dia tak berani berada pada posisi di depan kambing, apalagi memegang tali yang mengikat lehernya. Si kambing pasti akan menyeruduknya. Dia sudah mengalaminya beberapa kali.
Barangkali karena si kambing kemudian menjadi marah dan kesal kepadanya karena selalu dari hari ke hari pantatnya selalu di dorong-dorong oleh si Flores yang memiliki rambut sama keritingnya, hanya saja berwarna hitam.
Bila usahanya tak berhasil, dan memang selalu begitu. Maka si Flores akan meledeknya dengan memamerkan pantatnya dengan posisi berdiri menungging beberapa meter di depan muka si kambing. Sii kambing biasanya akan mengejarnya agar bisa menyeruduk. Amarah si kambing timbul barangkali merasa terhina diledek dengan goyangan pantat si Flores. Beda dengan perilaku hukum monyet, bila dipantati mukanya akan merasa bangga, karena itu menunjukkan bahwa dia merasa dihormati.
Akibat terlalu seringnya kita berteriak-teriak memanggil nama si Flores untuk menyemangatinya, maka si kambing juga menjadi terbiasa dan bereaksi bila dipanggil dengan nama teman Floresku itu.
"Simon!"
Dan si kambing akan menjawab dengan suara mengembik.
"Simon!"
"Embiiiik!"
"Simon!"
"Embiiiik!"
Kita kemudian jadi suka menggodanya. Memanggil temanku si Flores yang selalu dijawab si kambing dengan suara embikan. Kita tertawa lantaran, pertama si kambing kini memiliki nama julukan 'simon'. Temanku pemilik kambing jadi mudah memanggil kambingnya dengan nama tersebut, yang terbukti si kambing selalu mendatanginya setiap kali dipanggil dengan nama itu.
Kedua si kambing paling tidak suka bila wajahnya dipantati. Siapa pun orangnya. Tidak laki tidak perempuan. Tidak dewasa tidak pula anak-anak. Pasti akan diseruduk pantatnya bila kedapatan berdiri membelakangi si simon. Maka teman-teman tidak ada yang berani berada di dekat 'Simon'. Salah posisi berdiri, bisa-bisa kepala 'simon' akan menghajar pantat mereka.
Hampir semua pantat anak-anak di kampungku pernah merasakan hajaran kepala 'simon'. Tak kurang sebagian orangtua mereka memprotes akan perilaku si simon. Dan menyarankan agar 'simon' dibuat sate saja. Tetapi ada yang melakukan pembelaan tidak bisa menyalahkan si simon.
Setiap kejadian akibat perilaku serudukan simon, biasanya kemudian akan reda dengan sendirinya. Dan simon tetap merumput di tepi kolam dengan baik-baik sebelum si Flores yang kemudian enggan dipanggil namanya muncul dan kembali mendorong-dorong pantat si kambing. Tetap berupaya untuk menceburkannya ke dalam kolam agar bisa dimandikan.
Temanku Flores tak lagi mau namanya disamakan dengan nama si kambing. Tapi dia tak bisa memprotes karena si kambing suka dengan panggilan namanya. Simon!
Lantaran semakin kesal terhadap si kambing karena namanya kini menjadi milik si kambing. Selalu ada saja yang dilakukannya agar si kambing juga kesal terhadapnya dengan selalu memantat-mantatinya. Dan si simon kambing pun berusaha lari untuk mencari dan menyeruduk pantat si simon Flores.
Tak ayal, kami yang berada di tanah yang lebih tinggi berteriak-teriak menyemangati si simon kambing agar menyeruduk pantat si simon Flores. Kejar mengejar keduanya menjadi permainan dan tontonan kami bila sedang duduk menggembalakan kambing yang hanya seekor itu bersama-sama.
Kami pun bila berada di posisi tanah atas kerap berusaha menggoda si simon dengan mempertunjukkan pantat kami. Tetapi si simon kambing yang berada di bawah hanya mampu menatap goyangan pantat-pantat kami, karena dia tak mungkin bisa naik ke lereng tanah yang terjal. Wajah simon kambing memiliki belang hitam pada sebelah matanya, laiknya wajah penyamun yang selalu tertutup sebelah matanya dengan penutup berwarna hitam bundar. Dan si simon hanya mampu menatap tajam pantat-pantat yang kami goyangkan bersama-sama.
Suatu sore saat kami duduk di tempat yang biasa kami berada. Di samping bersama-sama menggembalakan si simon. Kami bertiga menikmati sambitan layang-layang di atas langit. Sore hari biasanya selalu ramai orang-orang kampung mengadu layang-layang.
Aku melihat ada sebuah layang-layang putus di kejauhan. Perkiraanku jatuhnya layang -layang yang putus itu berada di lokasi dekat kami duduk-duduk di atas rumput. Benar juga. Layang-layang yang putus itu melayang-layang semakin dekat. Hingga kemudian melayang hendak jatuh dekat pinggir kolam. Kita bertiga berebutan berusaha mendapatkannya.
Aku berusaha menggapai layang-layang yang kemudian jatuh di pinggir kolam. Karena jatuhnya berada di atas lembaran daun teratai yang lebar, maka layang-layang itu terselamatkan dan tak menjadi basah oleh air kolam.
Pada saat berebut itu. Kedua teman yang semula ikut berebut menggapai layang-layang, tiba-tiba pergi menjauh. Kupikir mereka berusaha mencari sebatang kayu untuk dipakai menggaet layang-layang yang berada di atas daun teratai itu.
Tanpa berpikiran seperti mereka. Aku berusaha menggapai layang-layang itu dengan kemampuan jangkauan lengan tangan. Kalau kaki masuk ke dalam kolam sudah tentu akan tenggelam masuk ke dalam lumpur, karena bagian dasar kolam berlumpur tebal.
Di tengah keasyikan berusaha menggapai layang-layang. Sementara kedua temanku yang berdiri agak jauh dariku berteriak-teriak.
"Awas! Awas!"
Menurutku, teriakan mereka sekedar mengingatkan agar aku berhati-hati jangan sampai layangan itu bergeser posisinya masuk ke dalam air kolam. Tetapi rupanya peringatan mereka merupakan peringatan tanda bahaya. Dan aku tak menyadarinya. Tetapi sudah terlambat untuk menghindari bahaya yang mereka ingin tunjukkan. Sebab tiba-tiba saja sebuah hantaman keras menyeruduk tepat di antara bongkahan pantatku.
Tubuhku langsung terjungkal masuk ke dalam kolam. Dengan kepala terlebih dahulu terjun masuk ke bagian dasar kolam menyentuh endapan lumpur. Sambil menggapai-gapai dengan kepala dan wajah dipenuhi lumpur. Aku berusaha berdiri. Tapi beruntung permukaan air kolam tingginya sebatas pinggangku.
Sesaat kemudian baru kusadari, bahwa yang baru saja menyeruduk pantatku pastilah si kambing bernama simon itu. Tidak ada sebab lain lagi.
Sambil mengepalkan tangan ke atas dan rasa marah kuacungkan tinju ke arah kambing yang baru saja menyeruduk pantatku. Aku berteriak lantang padanya.
"Simoooooooooooooon!"
Si simon menjawab santai.
"Embiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiik!"
Kedua temanku sambil terbahak-bahak menuding wajah dan rambutku yang dipenuhi lumpur basah.