Naik kereta api tut tut tut! Siapa sih yang tidak pernah mendengar lagu tersebut. Semenjak kecil kita telah diajarkan oleh ibu guru untuk menyanyikan lagu itu. Lagu itu biasanya dinyanyikan bersama-sama teman-teman bila diajak ibu guru berjalan-jalan mengelilingi desa. Atau bila kita masih balita dan belum dimasukkan ke sekolah taman kanak-kanak. Ibunda kita tentu yang kerap menyanyikannya untuk menyenangkan hati kita bila sedang ngambek, yang membuat kita menjadi terbiasa dan hafal, dan kemudian membayangkan bahwa naik kereta api itu menyenangkan. Bagi anak-anak tentu saja selalu berangan-angan bagaimana rasanya naik sebuah kereta api. Melihat pemandangan gunung dan sawah di sepanjang perjalanan. Berhenti sebentar di setiap stasiun yang disinggahi.
Mengenal kereta api tempo dulu, tidak seperti jenis kereta api di masa kini yang dikendalikan oleh sebuah mesin berbahan bakar minyak solar, atau listrik.
Kereta api ketika aku masih kecil, merupakan jenis kereta api yang digerakkan oleh tenaga uap. Bagian lokomotip dilengkapi sebuah ketel besar berbentuk silinder, tempat air dimasak hingga mendidih dan beruap, akibat uap panas yang terkungkung dalam ketel raksasa dan tidak bisa keluar, akan menghasilkan tekanan yang selanjutkan digunakan sebagai pendorong agar roda bisa berputar.
Diameter roda kereta api pada bagian lokomotip ketika itu sangat besar, dan tidak padat seperti sebuah piringan, melainkan ada kisi-kisi seperti halnya roda sepeda. Antara roda satu dengan yang lain dihubungkan oleh sebatang besi yang berfungsi sebagai poros penyelaras gerak.
Sementara uap yang berkelebihan akan dikeluarkan secara otomatis melalui safety valve atau katup pengaman agar tekanan udara dalam ketel tetap stabil bila kereta api berhenti. Suara yang keluar dari saluran pembuangan berupa uap udara panas, yang menimbulkan suara jesss! Itulah kenapa kita menyebutkan jalannya kereta api mengacu pada suara yang dikeluarkannya, yang berbunyi jes! jes! jes! jes! Tut.. tut.. tuuut! Bunyi peluit yang dihasilkan dari tekanan uap air yang disalurkan melalui pipa kecil. Menimbulkan suara melengking tinggi dan panjang, yang bisa terdengar hingga radius berkilo-kilometer.
Sepur lempung
Tentu saja yang pernah mengalami naik jenis kereta 'sepur lempung' sudah tentu kakek atau nenek kita. Melalui cerita kakek, saya mendengar istilah 'sepur lempung' itu. Kenapa disebut dengan sepur lempung? Konon dalam suatu perjalanan yang pernah dialaminya dari Kertosono menuju Jogjakarta.
Waktu itu bapak dari kakek saya menjabat sebagai kepala stasiun Kertosono, dan itu yang membuat kakek saya bebas naik kereta kemana saja dengan gratis karena kakek saya termasuk anggota keluarga petugas kereta api.
Kenapa ada sebutan 'sepur lempung'? 'Sepur lempung' tentu bukan sebutan dari barang mainan berbentuk kereta api yang terbuat dari lempung. Kata sepur sendiri yang berasal dari bahasa Belanda, adalah istilah lain dari kereta api. Tak banyak lagi stasiun yang menuliskan kata-kata sepur sebagai wujud lain dari kereta api. Di stasiun Kota Baru di kota Malang, saya menjumpai istilah sepur itu pada papan penunjuk jalur kereta api bila kita hendak memasuki peron stasiun. Saya lebih menyukai dengan istilah sepur, karena kalau kita gunakan kereta api walau pun sudah menjadi hal yang umum, tetapi kurang pas sebab kata tersebut sudah tak relevan dengan perkembangan perkeretaapian, sebutan kereta api menjadi spesifik seiring dengan bagaimana kendaraan tersebut digerakkan. Ada kereta diesel, ada kereta listrik, ada kereta gantung, ada kereta mayat.
Lempung adalah sebutan lain dari tanah liat, yang bisa dibentuk menjadi bermacam-macam keinginan seperti gerabah atau kerajinan tangan. Untuk pekerjaan keterampilan semasa kecilku, kalau membuat kerajinan seperti asbak, patung dan sebagainya, menggunakan bahan lempung.
Lalu apa hubungannya lempung dengan sepur? Tentu saja kalau kita melihat kepala kereta api dulu lokomotipnya dilengkapi sebuah ketel untuk merebus air agar bisa menghasilkan tekanan udara. Sedangkan lempung adalah hal yang timbul sebagai akibat yang kemudian menjadi bagian yang menyertainya. Lalu kedua hal tersebut membangun sebuah alur penjelasan yang kemudian dikenal dengan sebuah cerita. Cerita sepur, kendaraan yang pernah dinaiki kakek saya dalam suatu perjalanan antara kota Nganjuk dan Madiun.
Kereta yang dinaikinya mengalami kebocoran pada bagian ketel lokomotipnya. Dan itu mengakibatkan berkurangnya tekanan yang membuat kereta tidak bisa bergerak. Agar kereta api bisa berjalan normal kembali, masinis memiliki akal untuk menambal bagian ketel yang bocor dengan lempung yang diambil dari sawah saat kereta berhenti.
Setelah menambal pada bagian yang bocor, maka kereta bisa melanjutkan perjalanan kembali. Lempung yang dibuat menambal pada bagian yang bocor tentu saja akan menjadi kering karena pengaruh panas ketel. Lempung tersebut akan terlepas dari rekatannya. Pengaruh goyangan kereta selama perjalanan juga membuat rekatan lempung lekas rontok.
Bila lempung yang ditempelkan kemudian terkelupas kembali karena kering. Bagian yang bocor harus dicarikan lagi lempung dari sawah yang ada di sepanjang kanan kiri jalur kereta api, untuk menambal kembali lubangnya.
Setelah mengalami penambalan berulang-ulang, dan berhenti berulangkali sepanjang perjalanan, hingga akhirnya kereta tiba pada stasiun tujuan. Dan perbaikan bagian ketel lokomotip yang bocor bisa ditambal secara permanen pada bengkel kereta. Jadi lempung dipakai untuk menambal bagian ketel lokomotip yang mengalami kebocoran agar kereta api bisa berjalan kembali. Maka disebutlah kereta uap sebagai sepur lempung.
Kereta dulu menggunakan kayu atau batubara sebagai bahan bakar untuk merebus ketel uap. Di belakang lokomotip tersambung gerbong untuk menyimpan batubara atau kayu bakar. Dan di setiap stasiun pemberhentian tertentu selalu disediakan menara air sebagai bak penampungan air yang akan digunakan untuk mengisi ketel yang tentu saja airnya pasti berkurang.
Tertib
Belanda meninggalkan sistem administrasi perjalanan kereta api dengan rapi. Disiplin yang tinggi ketika itu membuat hampir tak pernah terdengar berita tentang kecelakaan kereta api. Di atas kereta tak pernah dijumpai pedagang asongan, pengamen, tukang sapu, peminta sumbangan, preman yang memprovokasi dengan kata-kata agar penumpang takut dan segera menyediakan uang receh buat mereka.
Semua peralatan yang tersedia dalam kereta. Mulai dari rem darurat, kamar kecil, penutup jendela yang terbuat dari kain terpal yang berfungsi sebagai penutup jendela agar tidak silau oleh sinar matahari yang menembus masuk ke dalam kereta, atau angin yang berhembus masuk, alat tersebut bisa ditarik ke bawah dan dicantolkan pada pengait yang semuanya sudah dibuat sedemikian rupa. Semua peralatan berfungsi dan terawat dengan baik.
Antara tempat duduk penumpang yang berhadapan, tersedia sebuah meja kecil yang menempel di bawah kaca jendela. Meja tersebut memiliki dua cekungan sedalam setengah sentimeter, gunanya untuk meletakkan gelas atau cangkir minuman di atasnya agar tidak bisa bergeser bila kereta berjalan. Meja kecil ini pun bisa ditekuk ke bawah bila tidak dipergunakan, sebagaimana meja kecil di depan kita bila naik pesawat terbang.
Kemudian pada bagian bawahnya, terdapat kotak kecil sebagai tempat sampah dilengkapi tutup agar kebersihan tetap terjaga.
Logam besi yang ada pada bagian interior gerbong, seperti besi tempat duduk, bingkai jendela, nomer tempat duduk yang menempel pada setiap sandaran, rak barang untuk meletakkan bawaan penumpang. Semuanya terbuat dari logam stainlees steel. Hanya kursi yang terbuat dari kayu yang dianyam dengan rotan. Yang akan menjadi sarang dari kepinding. Kepinding ini yang membuat penumpang tidak bisa duduk dengan nyaman. Binatang ini selalu menyelusup ke dalam pakaian penumpang untuk mengisap darah.
Bangku semacam ini di era awal tahun delapan puluhan masih terdapat pada gerbang kereta. Saya masih mengalami bagaimana kepinding bergerilya bila malam hari. Tak ada yang bisa kita lakukan selain memukul-mukul bangku agar binatang itu tidak menganggu, atau dengan cara begitu, untuk melemparkannya dari sela-sela anyaman rotan, sebab di sanalah binatang itu bersembunyi untuk kemudian akan melakukan serangan bila keadaan kembali tenang. Namun keadaan tak akan pernah tenang selama penumpang merasa terganggu oleh ulah kepinding yang selalu ada di sela-sela bangku kereta yang terbuat dari rotan.