Sebagian dari atribut-atribut kepramukaan.
Di sinilah, di sini kita bertemu lagi.
Di sinilah, di sini kita bertemu lagi.
Salam! Salam! Salam salam salam!
Heeeee!
Tepuk pramuka! Prok! Prokprok! Prokprokprok! Prokprokprokprokprokprokprok!
Itu adalah nyanyian dan tepuk tangan yang selalu mengawali di setiap kegiatan kepramukaan semasa sekolah dasar. Untuk menjadi anggota pramuka masa itu, tidak ada unsur yang memaksa baik berasal dari pihak sekolah maupun ketentuan pemerintah. Walau untuk mengikuti kegiatan kepramukaan, inisiatipnya dimulai dari sekolah melalui sebuah pengumuman yang dibacakan menjelang murid-murid selesai menjalani pelajaran sekolah, dan berkemas hendak pulang ke rumah masing-masing.
Tidak sebagaimana di masa kini. Setiap pemberitahuan kepada orangtua murid. Setiap pesan yang akan disampaikan selalu dicatat ke dalam sebuah buku agenda yang wajib dimiliki setiap murid. Atau akan diedaran melalui sebuah surat pemberitahuan yang dicetak dengan mesin printer yang dikemas rapi.
Buku agenda yang wajib dipunyai setiap murid' tidak boleh tertinggal di rumah. Buku agenda tersebut berfungsi sebagai buku penghubung, yang mengkomunikasikan setiap pesan, baik dari guru, sekolah kepada para orangtua murid. Untuk mengingatkan akan adanya tugas yang harus dikerjakan murid di rumah. Atau penyampaian suatu pesan pemberitahuan, misalnya murid yang bersangkutan belum melunasi pembayaran sesuatu.
Semasa kecilku dulu. Setiap pengumuman apa pun bentuknya yang berasal dari sekolah, seperti pesan kepala sekolah, termasuk penawaran menjadi anggota pramuka, pemberitahuannya selalu dibacakan di depan kelas. Dan yang membacakan, biasanya pegawai kantor yang ditugasi kepala sekolah. Pengumuman tersebut dibacakan dengan mendatangi ke setiap ruangan kelas, mulai dari kelas satu hingga kelas enam. Setiap murid akan menyimak dengan seksama. Yang kemudian akan menyampaikannya kepada orangtuanya setibanya di rumah.
Biasanya anak-anak akan memperoleh ijin dari orangtuanya secara lisan saja untuk bisa ikut dalam setiap kegiatan kepramukaan. Prinsipnya orangtua menyerahkan keputusan menjadi anggota pramuka kepada anaknya masing-masing. Apakah mereka mau atau tidak menjadi anggota pramuka? Nah, disinilah inti dari makna hubungan dan keputusan yang demokratis yang pernah terjadi dalam dunia pendidikan kita di era tahun tujuh puluhan antara pihak sekolah, orangtua dan murid. Tidak ada yang memaksa, dipaksa, maupun yang terpaksa.
Meskipun untuk menjadi anggota kepanduan setiap anak diberi kebebasan memilih. Tetapi tidak setiap anak lantas menerima dan suka menjadi anggota pramuka? Ada sebagian anak yang lebih suka membagi dan memanfaatkan waktunya untuk hal-hal lain dari pada setiap hari yang sudah ditentukan, harus mandi lebih cepat, mengenakan seragam pramuka, dan berangkat ke sekolah bersama-sama yang lain berkumpul lalu berlatih kepramukaan di sekolahan.
Ada juga alasan tidak bisa ikut yang disebabkan, bahwa tidak setiap anak memiliki orangtua yang mampu membelikan atau membuatkan mereka seragam pramuka. Alasan seperti ini yang kebanyakan membuat anak-anak ‘minder’. Mereka menyadari bahwa orangtuanya tidak cukup duit untuk membeli kain untuk dijahitkan menjadi seragam pramuka. Meski dalam setiap kegiatan kepramukaan ketika itu, mereka tidak diwajibkan memiliki seragam pramuka.
Tetapi rasa 'malu' dan kurang percaya diri saja membuat sebagian murid enggan ikut. Tetapi ada pula yang memutuskan terlibat walau tidak memiliki seragam. Mereka hanya 'wajib' mengenakan dug (dasi pramuka). Itu pun juga tidak dipaksa bila tidak punya. Biasanya mereka nanti akan diberi pinjaman bila ada yang memiliki lebih dari satu dug saat berlangsungnya kegiatan kepramukaan.
Menjadi anggota pramuka ketika itu, memberi suatu kebanggaan tersendiri bagi anak-anak. Mengenakan celana pendek berwarna coklat tua, dengan baju coklat muda yang dimasukkan ke dalam celana agar rapi. Lalu mengenakan sabuk yang pada bagian pinggang digantungi untaian tali-temali. Baju seragam yang dihiasi dug di bawah leher. Mengenakan topi kabaret berwarna sama dengan warna celana. Waktu itu, model sepatuku 'model sepatu Bruce Lee' warna hitam, alasnya tipis terbuat dari karet berwarna coklat, pembungkus kakinya terbuat dari kain tipis. Lalu kaos kaki hitam yang menutupi kaki hingga di atas lutut.
Seragam pramuka tanpa atribut terasa belum lengkap bila tidak ada sebilah belati ‘ala tentara’ (bayonet) yang tergantung di sabuk pada pinggang bagian kanan. Belati tersebut lebih berfungsi sebagai hiasan dan kebanggaan agar nampak gagah dan keren bila tidak digunakan. Belati tersebut biasanya digunakan bila ada kegiatan latihan menyusuri 'tanda jejak'. Pada masa itu tidak ada kenakalan remaja berantam menggunakan belati. Jadi membawa belati bukan hal yang tabu atau dilarang. Belati sebagai atribut digunakan bila ada kegiatan haral lintang dan lintas alam, gunanya untuk memotong ranting, menorehkan tanda di atas tanah, atau membuat tanda cungkilan pada batang kulit pohon dan lain sebagainya.
Yang juga tidak kalah pentingnya. Melengkapi diri dengan sepotong tongkat berukuran panjang tak lebih tinggi dari tinggi badan. Serta peluit pipa berukuran panjang sekitar enam sentimeter terbuat dari logam. Peluit ini dikenal sebagai peluit 'morse', karena digunakan bila ada latihan ‘morse’. Ketika itu ada dua jenis peluit. Jenis peluit satunya digunakan dalam latihan baris-berbaris dan berlatih berlalulintas. Peluit tersebut masih digunakan hingga sekarang, dan masih mudah diperoleh. Tetapi jenis peluit yang pertama sepertinya sudah jarang dijual di toko.
Atribut kepramukaan ketika itu tidaklah selengkap atribut kepramukaan di masa kini, yang demikian banyak ragam serta pernak-perniknya. Belum lagi seragam pramuka sudah menjadi seragam wajib yang harus dikenakan di setiap hari yang sudah ditentukan selain seragam sekolah lainnya.
Semangat tinggi untuk selalu ikut berlatih pramuka pernah memaksaku harus menyeterika celana seragam coklat yang sudah terlanjur diredam ibuku ke dalam bak cuci. Waktu itu setiap hari Sabtu sepulang sekolah yang merupakan hari terakhir dalam sepekan, di mana besok pada hari minggunya kita semua libur sekolah. Saatnya semua seragam sekolah direndam agar esok paginya bisa dicuci lalu dijemur, dan sore harinya bisa diseterika, sehingga sudah siap dipakai kembali di hari Seninnya.
Seterika Arang
Karena demikian penting dan rasa bangga mengenakan seragam pramuka. Celana yang sudah terlanjur direndam kuangkat dari dalam bak perendaman. Kuperas untuk mengurangi resapan airnya (bukan karena takut terkena sangsi bila tidak mengenakan). Untuk membuat pakaian lekas kering, mustahil cepat kering dengan dijemur. Selang waktunya hanya dua jam dengan dimulainya kegiatan pramuka. Satu-satunya jalan agar celanaku yang basah cepat kering, hanyalah dengan cara menyeterikanya.
Dan untuk menyeterika ketika itu, tidak seperti seterika masa kini. Yang tinggal mencolokkan kabel steker ke aliran listrik. Serta temperatur panas seterika bisa disetel sesuka hati.
Semasa kecilku dulu. Untuk memanaskan seterika. Terlebih dahulu aku harus pergi ke warung membeli arang kayu. Arang kayu akan dibakar dan dinyalakan dalam alat seterika sampai membara. Seterika juga tak langsung bisa digunakan. Sebab pada saat membakar varang kayu, seterika akan mengeluarkan asap dari hasil pembakaran arang, yang kerap tidak kunjung hilang yang membuat pedih mata. Yang demikian biasanya karena mutu arangnya tidak baik. Asap akan hilang setelah semua arang benar-benar terbakar. Setelah itu, alat seterika baru bisa digunakan.
Tetapi bila panasnya berkurang dan bara apinya hendak padam. Tutup seterika harus lekas dibuka dan harus segera dikipasi agar apinya membarakembali. Tetapi akan celaka bila bara apinya kemudian menyala berlebihan, karena membuat alas seterika akan menjadi semakin panas. Dan bila dipaksakan untuk digunakan, bisa berakibat kain yang diseterika bisa lengket, atau hangus.
Seterika model dulu tidak memiliki alat pengatur temperature panas. Untuk mengurangi panas alas seterika. Kita harus menyediakan sehelai daun pisang. Alas seterika yang panasnya berlebihan digosok-gosokan di permukaannya. Menyeterika daun pisang tersebut tujuannya untuk mengurangi panas besi alas seterika. Daun pisang pun mengering, menciptakan asap beraroma gurih. Setelah dirasakan panasnya berkurang, seterika bisa digunakan kembali.
Tetapi untuk mengeringkan celana basah yang benar-benar basah. Tidak diperlukan daun pisang. Untuk lekas mengeringkan kain celana justru memerlukan seterika yang benar-benar panas. Pertemuan alas seterika yang panas dengan kain yang basah akan menimbulkan suara cessssssss! Hal itu akibat bair yang kemudian mendidih berubah menjadi uap.
Walau hasilnya tak sepenuhnya kering. Rasa basah dan lengket di bagian sambungan jahitannya, akan terasa pada saat dikenakan. Tak nyaman di kulit. Tetapi perasaan itu dikalahkan semangat mengikuti kegiatan pramuka agar bisa tetap mengenakan seragam lengkap.
Seterika pada masa itu cukup membuat sekujur wajah dan badan berkeringat dan nafas ngos-ngosan. Bukan akibat hawa panas yang ditimbulkan. Tetapi seterika yang terbuat dari logam besi tebal, dengan pengunci berbentuk ayam jago, dan pegangan berlapis kayu, beratnya sampai dua kilogram. Bagi tubuhku yang masih kecil, sudah tentu seterika tersebut cukup membuat lengan tangan terasa pegal sekali.
Alat seterika pada masa dulu.
Mengucapkan janji setia. Berlatih PBB (Persatuan Baris Berbaris sebutannya ketika itu). Berlatih keterampilan tali-temali. Menguasai kode memakai bendera yang disebut semaphore. Menguasai tulisan cepat atau 'steno'. Menguasai kode bunyi yang disebut ‘morse’ dengan meniup peluit berdasarkan nada panjang dan pendeknya tiupan. Berlatih keterampilan membuat tandu untuk menghadapi situasi darurat bila ada yang mengalami kecelakaan dan musibah. Berlatih membangun tenda. Terampil memasak. Semua keterampilan yang harus dikuasai sebelum melakukan perjalanan masuk ke dalam hutan atau pergi ke puncak gunung untuk berkemah.
Selanjutnya yang tak terlewati adalah bernyanyi. Lagu-lagu yang dinyanyikan selalu lagu-lagu berasal dari daerah di tanah air. Hal itu untuk menanamkan rasa kebinekaan. Penanaman sikap disiplin. Memiliki tanggung jawab. Berbhakti kepada orangtua, nusa dan bangsa. Jujur dan rendah hati. Tidak congkak dan sombong. Suka menolong dan berjiwa gotong royong. Peduli kepada sesama dan lingkungan. Terampil. Selalu riang tidak bermuram durja. Hal-hal yang membentuk karakter kebaikan termasuk membentuk watak berbudi luhur, memiliki budi pekerti yang baik, serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bila usai berlatih pramuka. Lagu 'Syukur' dan lagu 'Sayonara' selalu dikumandangkan bersama-sama sebelum latihan kepramukaan selesai. Kemudian pulang kembali ke rumah masing-masing.
Studi banding yang salah arah
Jadi intinya kepanduan di Indonesia telah memiliki 'roh' dan membentuk wataknya sendiri berdasarkan kekayaan akar budaya Indonesia yang berbeda-beda tetapi tetap satu. Sudah seharusnya kepramukaan di Indonesia dikembangkan dengan baik sejak dulu. Dan tidak menjadi ajang kegiatan komersialisasi serta sekedar seremonial. Kepramukaan Indonesia justru seharusnya menjadi pusat studi banding bagi negara-negara lain untuk datang ke Indonesia.
Kepramukaan adalah sarana kegiatan positip bagi generasi muda. tetapi yang penting untuk masuk dan terlibat dalam kegiatan kepramukaan tidak harus dengan memaksakan. Melainkan lebih mengutamakan penciptaan iklim bahwa kegiatan pramuka itu memberi ruang bagi generasi muda sebagai sarana bergaul, berinteraksi, melatih keterampilan, mencari kesenangan, memahami keragaman Indonesia yang ada dan lain sebagainya, dengan mengkondisikan agar mereka tertarik secara sukarela, karena generasi kini tipe generasi yang tidak mau dipaksa. Semakin dipaksakan, akan semakin membuat mereka melawan. Lebih baik memberi contoh elegan dan kearifan.
Mengajak tanpa harus memaksa dalam bentuk memanipulasi apapun, apalagi memaksakan melalui produk perundang-undangan yang justru akan berakibat keluar dari esensi sesungguhnya dari tujuan kepramukaan itu sendiri yakni membangun waatak manusia Indonesia seutuhnya.
Tetapi apa yang terjadi saat ini. Ini dimulainya ketika presiden melontarkan isu tentang kepramukaan. Maka langsung direspon oleh anggota dewan dengan melakukan studi banding ke negara kulit hitam. Dari sini sudah mulai terjadi pemikiran untuk cincai cincai anggaran pendapatan negara. Birokrat, penentu kebijakan serta pembuat undang-undang sudah mulai mengutak-utik besarnya plafon anggaran yang diperlukan untuk mengembangkan dunia kepramukaan. Padahal siapa yang akan menikmati itu semua? Ya, mereka itu semua. Belum lagi nanti akan terpikirkan untuk merobohkan Gedung Kwartir Nasional yang berada di depan stasiun Gambir, dan menggantikannya dengan gedung pencakar langit menyaingi gedung DPR, parahnya lagi siapa nanti yang akan menempati? Pastilah orang-orang bodoh yang berpura-pura peduli pada dunia kepramukaan, padahal hanya ingin menikmati setiap anggaran yang sudah dibuat deal antara DPR dan Pemerintah.
Sementara generasi yang hendak digiring untuk giat dalam kepramukaan, ibarat keledai bodoh yang tidak mampu berbuat apa-apa, sementara para orangtua akan semakin memikul beban biaya pendidikan kepramukaan, minimal seragam, sepatu, kaos kaki, topi, semua atribut-atribut pramuka yang demikian njelimet. Belum lagi tambahan beban-beban tugas selain beban tugas-tugas pendidikan formal yang sudah demikian membebani baik siswa maupun orangtua.
Dunia pendidikan di Indonesia dunia pendidikan yang sudah sedemikian 'gila'. Bukan membuat pandai malah membodohi. Coba bayangkan betapa berat beban yang harus dipikul oleh seorang siswa sekolah dasar setiap harinya di dalam tas sekolahnya.
Pernahkah penerbit memikirkan jenis kertas yang pantas digunakan untuk membuat buku agar-anak-anak tidak menjadi berat bila harus membawa semua buku cetak dari setiap mata pelajaran setiap harinya? Bayangkan! Ibu dan Bapak guru dengan seenaknya memberi sangsi bila ada siswa yang lalai tidak membawa buku cetak. Sementara siswa terseok-seok berangkat dan pulang sekolah dalam keadaan menahan rasa lapar (yang disekolah tak disediakan makan siang) harus memondong tas yang sedemikian berat, sementara para pengajarnya selalu mendapatkan jatah konsumsi baik minum dan makan siangnya. Kita semua harus sadar bahwa para siswa itu berangkat sekolah, bukan berangkat bekerja.