Jalan Buku Sahabat Buku

Oleh: Adjie Soeroso
Didedikasikan untuk seorang Mula Harahap yang tak pernah lelah bergumul dengan buku.



hidup buku!
hidupmu buku
duniamu buku
pikiranmu buku
matamu buku
bacaanmu buku
bukumu buku
cahayamu buku
telingamu buku
nafasmu buku
mulutmu buku
laparmu buku
makanmu buku
hausmu buku
minummu buku
jantungmu buku
detakmu buku
hatimu buku
perasaanmu buku
cintamu buku
tubuhmu buku
aromamu buku
tidurmu buku
bantalmu buku
kasurmu buku
selimutmu buku
sahabatmu buku
kendaraanmu buku
langkahmu buku
jalanmu buku
kuburmu buku
dirimu buku

Menjadi Anggota Pramuka Semasa Kecil

Sebagian dari atribut-atribut kepramukaan.

Di sinilah, di sini kita bertemu lagi.
Di sinilah, di sini kita bertemu lagi.
Salam! Salam! Salam salam salam!
Heeeee!

Tepuk pramuka! Prok! Prokprok! Prokprokprok! Prokprokprokprokprokprokprok!

Itu adalah nyanyian dan tepuk tangan yang selalu mengawali di setiap kegiatan kepramukaan semasa sekolah dasar. Untuk menjadi anggota pramuka masa itu, tidak ada unsur yang memaksa baik berasal dari pihak sekolah maupun ketentuan pemerintah. Walau untuk mengikuti kegiatan kepramukaan, inisiatipnya dimulai dari sekolah melalui sebuah pengumuman yang dibacakan menjelang murid-murid selesai menjalani pelajaran sekolah, dan berkemas hendak pulang ke rumah masing-masing.
Tidak sebagaimana di masa kini. Setiap pemberitahuan kepada orangtua murid. Setiap pesan yang akan disampaikan selalu dicatat ke dalam sebuah buku agenda yang wajib dimiliki setiap murid. Atau akan diedaran melalui sebuah surat pemberitahuan yang dicetak dengan mesin printer yang dikemas rapi.
Buku agenda yang wajib dipunyai setiap murid' tidak boleh tertinggal di rumah. Buku agenda tersebut berfungsi sebagai buku penghubung, yang mengkomunikasikan setiap pesan, baik dari guru, sekolah kepada para orangtua murid. Untuk mengingatkan akan adanya tugas yang harus dikerjakan murid di rumah. Atau penyampaian suatu pesan pemberitahuan, misalnya murid yang bersangkutan belum melunasi pembayaran sesuatu.
Semasa kecilku dulu. Setiap pengumuman apa pun bentuknya yang berasal dari sekolah, seperti pesan kepala sekolah, termasuk penawaran menjadi anggota pramuka, pemberitahuannya selalu dibacakan di depan kelas. Dan yang membacakan, biasanya pegawai kantor yang ditugasi kepala sekolah. Pengumuman tersebut dibacakan dengan mendatangi ke setiap ruangan kelas, mulai dari kelas satu hingga kelas enam. Setiap murid akan menyimak dengan seksama. Yang kemudian akan menyampaikannya kepada orangtuanya setibanya di rumah.
Biasanya anak-anak akan memperoleh ijin dari orangtuanya secara lisan saja untuk bisa ikut dalam setiap kegiatan kepramukaan. Prinsipnya orangtua menyerahkan keputusan menjadi anggota pramuka kepada anaknya masing-masing. Apakah mereka mau atau tidak menjadi anggota pramuka? Nah, disinilah inti dari makna hubungan dan keputusan yang demokratis yang pernah terjadi dalam dunia pendidikan kita di era tahun tujuh puluhan antara pihak sekolah, orangtua dan murid. Tidak ada yang memaksa, dipaksa, maupun yang terpaksa.

Rasa Nasionalisme

Apa yang terjadi dengan rasa Nasionalisme bangsa ini saat melihat tayangan di beberapa stasiun televisi ketika melakukan peliputan langsung dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan? Dalam acara tersebut diajukan pertanyaan ke berbagai lapisan anggota masyarakat mengenai, bagaimanakah bunyi dari butir-butir Pancasila? Kenyataannya jawaban yang diperoleh nampak memprihatinkan, diantaranya demikian kedodoran, berlepotan, serta tidak hafal lagi. Itulah yang terjadi walau hal tersebut bukan merupakan ukuran kadar dalam menakar citarasa kebangsaan.
Lantas bagaimanakah bila ditanyakan mengenai bunyi dari syair lagu kebangsaan kita Indonesia Raya? Mudah-mudahan jawabannya tidak sebagaimana jawaban ketika menanyakan bunyi butir-butir Pancasila. Karena lagu Indonesia Raya setidaknya masih kerap dikumandangkan di radio dan televisi dalam setiap even olahraga. Tetapi apakah kita akan mendapatkan jawab yang benar dan seberapa tahu anggota msayarakat bila ditanyakan perihal, siapakah pencipta atau pengarang lagu Indonesia Raya? Dan siapakah gerangan W.R. Soepratman itu? Lalu bagaimanakah sosoknya? Bagaimanakah riwayat hidupnya?Bagaimana kiprahnya dalam proses terwujudnya negara kesatuan Republik Indonesia ini?
Nah, batu ujian rasa nasionalisme sesungguhnya tercermin dari sejauh mana warga bangsa menghayati serta memahami unsur-unsur yang mendasari dan yang menjadi jaringan benang merah keberadaan dari Republik Indonesia. Sehingga generasi ini tidak menjadi dangkal dalam memahami rasa nasionalisme. Kebhinekaan yang menjadi ika. Kebersamaan dalam keberagaman. Kearifan dalam kemasan demokrasi. Solidaritas dalam persatuan dan kesatuan. Dan kemanusiaan dalam keberadaban sebagai manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tulisan ini juga bisa dibaca di Blog Jaringan Indonesia Raya.

Berpulangnya Seorang Demokrat Sejati

Berjuang dan berkorban tak hanya berlaku di saat negara ini berada dalam masa perjuangan fisik untuk mewujudkan Tanah Air Indonesia. Pelaku-pelaku perjuangan pun kemudian memilih nasibnya sendiri-sendiri. Yang meninggal tidak dikenal, maka jadilah mereka para pahlawan yang tidak dikenal. Yang hidup, maka kemudian menerima tanda jasa dan mendapatkan jatah pensiun. Yang beruntung dan menguntungkan dirinya, maka jadilah pejabat. Yang akan menikmati kemerdekaan ini dengan bergelimangan segala tunjangan yang demikian mensejahterakannya hingga tujuh turunan. Yang tidak beruntung dan tidak mau menguntungkan dirinya. Cukup dengan selembar tanda jasa, dan mengantri setiap tanggal sepuluh di Kantor Pos atau Bank untuk mengambil jatah pensiunnya, yang tidak lebih cukup dari sekedar menyambung umur.
Di alam kemerdekaan bahwa perjuangan pun sesungguhnya tidak boleh berhenti. Banyak persoalan hidup bernegara ini yang perlu diluruskan arah tujuannya. Karena dalam kenyataannya, kebebasan, ketidak adilan, pengingkaran terhadap hak warga negara demikian banyak terjadi, dan terabaikan.
Untuk itulah dalam masa kemerdekaan pun diperlukan pejuang-pejuang di segala sendi kehidupan. Agar negara ini memberi makna sesungguhnya, bagaimana tujuan bernegara yang merupakan cita-cita bersama atas nama mereka yang disebut sebagai warganegara untuk mendapatkan kesejahteraan dan kedamaian.
Seperti halnya seorang Mula Harahap. Seorang warga bangsa. Yang dengan kesederhanaan dan kepapaanya. Tidak pernah berhenti berjuang menurut kemampuan dan pikirannya. Yang menginginkan, agar setiap warga negara mendapatkan haknya, melalui pencerahan tulisan-tulisannya. Yang dilakukannya sampai detak jantung yang penghabisan pada tanggal 16 September 2010, dan dimakamkan di TPU Pondok Rangon, yang menempati Petak Blad no.124.
Selamat Jalan Sahabat! Perjuangan memang panjang dan tak pernah terhenti. Jangan kuatir. Masih ada kawan-kawanmu yang juga terus memperjuangkan apa yang menjadi pikiranmu.

Tulisan ini juga bisa dibaca di Blog Jaringan Indonesia Raya, atau klik saja di sini.

Sahabatku kini Rumahnya Sendiri di Petak BLAD No. 124, Pondok Rangon

Catatan- catatan dalam mengenang seorang sahabat karib Mula Harahap. Catatan ke 7


Pernah suatu kali dalam perjalanan dengannya menuju ke sebuah toko buku yang pernah ada di samping Gedung Sarinah di Jalan Thamrin Jakarta ( toko buku tersebut bernama Q Book), kita berbincang tentang burung. Entahlah kenapa kita mengambil topik perbincangan seputar perburungan. Barangkali pada saat itu dalam sekelebat bayangan mata melihat seseorang anak berkendaraan sepeda sedang membonceng sebuah sangkar burung yang berisi merpati aduan yang hendak dilepas ke suatu tempat.
"Berapa kira-kira anak itu mendapat bayaran untuk melepaskan merpati-merpati itu?" Tanyaku.
"Paling nggoceng!"
"Masih untung. Tapi kalau dia sekedar disuruh oleh orangtuanya untuk melepaskannya?"
"Merdeka!"
Kita tertawa lepas berdua.
"Burung merpati adalah burung yang paling beruntung yang bisa hidup bersama-sama dengan manusia selain ayam. Walau toh pada akhirnya ada merpati yang nasibnya tak bedanya dengan ayam yang berakhir di penggorengan." tambahnya.

Tak akan Pernah Ada Lagi Ketukan Pintu Itu

Sebutir Permen

Catatan- catatan dalam mengenang seorang sahabat karib Mula Harahap. Catatan ke 1



Medio September 2010 adalah malam yang tidak pernah terbersit dalam benak akan menjadi malam perbincangan terakhir duduk berdua bersamanya di kamarku, berdiskusi panjang lebar sebagaimana bila berkumpul di waktu-waktu sebelumnya dalam kebersamaan.
Masih segar dalam suasana hati saya akan suasana hatinya (alm. Mula Harahap) pada saat sedang berbicara. Pertama datang hingga kemudian meninggalkan kamarku, wajahnya diliputi keceriaan, walau segala apa yang dikatakannya selalu kembali berputar kepada keluhan-keluhan yang belakangan ini kerap dirasakannya. Keceriaan pada wajahnya kupikir hanya sekedar menutupi kegundahan hatinya. Dan baru kusadari kemudian bahwa itu adalah wajah yang murni mencerminkan dari wajah yang hendak 'pergi'. Tanpa beban.
Dia katakan habis kontrol ke dokter. Terutama yang menyangkut kondisi fisiknya.
Belakangan ini dia sudah memastikan, bahwa apa yang dirasakannya merupakan dampak dari ketidakberesan yang terjadi pada jantungnya. Pada saat itu kucoba menyembunyikan rasa keterkejutanku saat mendengarnya. Memang akhir-akhir ini dia lebih sering membicarakan tentang penyakitnya, lalu mencoba menghubungkan pada pengalaman kawan-kawan yang mengalami hal yang sama. Kupikir, dia hanya mencoba memancingku untuk mencari tahu bagaimana mengatasinya.
Belum lama dia juga coba ceritakan sedang menjalani terapi memakan buah pepaya sebelum makan nasi. Apa yang dilakukannya sekedar menuruti nasihat seseorang kawan yang juga pernah mengalami persoalan penyakit seperti yang dialaminya.
Kala itu aku hanya mendengarkan dengan seksama tanpa berkomentar. Bahwa dia tengah menjalani terapi herbal untuk mengatasi rasa sakitnya. Walau kemudian dikatakannya tak membawa perubahan. Kesimpulan dokternya setelah dia melakukan chek up yang menyimpulkan bahwa ada yang tidak beres dengan saluran nadi ke jantungnya, yang masih menurut kesimpulan dokternya, bahwa penyakitnya itu hanya bisa diatasi dengan melakukan operasi.
Sambil tertawa seraya mengatakan.
"Bayangkan saja Fathudin (yang juga kawan saya, dosen dan purek UNAS) saja hanya pasang ring saja butuh biaya empat puluh juta rupiah lebih. Itu beberapa tahun lalu. Sekarang jatuhnya sekitar tujuh puluh juta rupiah barangkali lebih. Uang segitu mendingan buat ninggalin isteri saya."
Saya mencoba menetralisir dengan mengatakan.

Seorang Batak yang Njawani (Jawa)

Komedi Monyet

Sebiduk di Sungai Musi

Malam Terakhir